Kamis, 30 April 2020

JUST IN TIME (JIT)

Dalam managemen inventory terdapat dua sistim atau strategi yang digunakan, yaitu: Just in Time (JIT) dan Just in Case (JIC). Dimana keduanya mempunyai sifat yang saling bertolak belakang. Bila Just in Time bertujuan untuk seminimal mungkin melakukan penyimpanan barang, maka Just in Case kebalikannya. Kedua cara sistim magemen inventory tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada blog kali ini, saya akan mencoba menjabarkan kedua sistim managemen inventory tersebut sesuai dengan apa yang saya pelajari dan juga berdasarkan pengalaman yang ada.

Just In Time (JIT)
Just In Time (JIT) adalah sistem produksi tepat waktu. Just in time merupakan salah satu pilar dari konsep Toyota Production System (TPS) selain Jidoka. Just in time mengupayakan agar apa yang diproduksi dapat diterima oleh pelanggan secara tepat waktu dengan membuat segala proses yang ada di dalamnya menjadi efisien.
Just in time berusaha untuk menghilangkan proses yang sia - sia agar produksi sesuai dengan rencana dan berdampak pada pengiriman pesanan ke pelanggan menjadi tepat waktu. Untuk bisa mememenuhi permintaan pelanggan tersebut, kita harus mampu menghitung takt time. Konsep just in time cukup sederhana, yaitu kita tidak perlu membuat produk yang berlebihan yang disimpan di gudang jadi. Motto dari just in time adalah hanya membuat produk yang diminta pelanggan, hanya membuat ketika diminta pelanggan, dan membuat sesuai dengan jumlah yang diminta oleh pelanggan.
Dengan hanya membuat produk yang diminta pelanggan, tentu saja just in time dapat menghilangkan segala pemborosan dalam prosesnya. Seperti kelebihan output produksi yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelanggan, sehingga secara tidak sadar kita telah membuang waktu, tenaga, dan biaya untuk produksi yang sia – sia.
Dalam penerapan just in time, ada suatu alat dapat membantu kita untuk mempermudah pengaplikasiannya. Nama alat tersebut adalah ‘’kanban’’. Kanban adalah kartu perintah produksi yang berisi tentang nama produk, jumlah produk yang dibuat, dan proses aliran perakitannya (assembly process) ke mesin mana saja. Setiap proses harus didasarkan pada kartu kanban dan harus patuh dengan apa yang tertulis di dalamnya, karena kanban berfungsi sebagai media untuk perintah produksi. Konsep just in time dipelopori oleh seorang berkebangsaan jepang bernama Taiichi Ohno untuk perusahaan Toyota. Kemudian telah diadopsi oleh perusahaan – perusahaan di jepang dan perusahaan dunia sebagai solusi untuk menerapkan lean manufacturing (manufaktur ramping). 
Pada sistim "Just in time" pemesanan barang (bahan baku/barang jadi) ke suplier berdasarkan jumlah yang diminta oleh customer. Barang dari suplier yang datang secepatnya diproses lebih lanjut menjadi barang jadi yang siap kirim untuk memenuhi kebutuhan customer. Bila sistim ini berjalan baik jumlah barang yang disimpan digudang akan sedikit, bahkan bisa tidak terdapat simpanan barang sama sekali di gudang. 

Syarat sistim "Just in Time" bisa berjalan dengan baik:
  1. Data yang ada harus lengkap dan akurat, data disini berupa: Jadwal permintaan penyediaan barang dari customer, kapasitas produksi, kondisi mesin, waktu penyediaan barang dari suplier. kesemua data tersebut nantinya dibutuhkan untuk forecasting (perencanaan dan perhitungan kedepan).
  2. Komunikasi dan koordinasi yang benar-benar baik dan tepat dengan suplier, agar barang yang kita butuhkan, oleh suplier bisa disediakan dan diantarkan tepat sesuai jadwal yang kita minta (sesuai kesepakatan).
Hal atau faktor yang biasanya menyebabkan sistim "Just in Time" tidak bisa berjalan baik:
  1. Data dan informasi awal yang diberikan tidak akurat, contoh: jadwal permintaan penyediaan barang oleh customer yang tidak sesuai, kondisi mesin yang menjadi rusak, suplier yang tidak bisa memenuhi pesanan kita tepat sesuai jadwal.
  2. Faktor kejutan/faktor yang tak terduga. Terkadang walaupun suplier bisa menyediakan barang pesanan kita tepat sesuai jadwal tetapi saat pengantaran terdapat kendala: faktor cuaca, kondisi jalur lalu-lintas, kondisi kendaraan transportasi yang bisa menjadi penyebab terhambatnya barang dari suplier datang tepat pada waktunya.
  3. Pesanan dari customer yang mendadak dalam jumlah besar, yang tidak mungkin bisa dipenuhi dilihat dari kedatangan barang dari suplier maupun dilihat dari kapasitas produksi (sampai dengan jadi barang siap kirim).
Keuntungan sistim JIT:
  1. Semakin sedikit barang yang disimpan pengelolaan barang di gudang menjadi semakin mudah dan resiko terjadinya kerusakan barang juga menjadi kecil. 
  2. Sumber daya yang dibutuhkan untuk mengelola barang yang disimpan menjadi sedikit (sumber daya manusia, maupun area gudang yang dibutuhkan).
  3. Perputaran barang cepat otomatis perputaran modal juga cepat, semakin kecil modal macet dalam bentuk barang disimpan di gudang.
Kelemahan sistim JIT:
  1. Faktor kejutan/tak terduga yang memiliki dampak buruk, pengaruhnya besar sekali. Sistim "Just in Time" ini memiliki resiko lebih besar.
  2. Tidak bisa memenuhi permintaan mendadak dari customer dalam jumlah besar, karena tidak adanya simpanan di gudang.
Just In Cace (JIC)
Sistim "Just in Case" ini merupakan kebalikan dari JIT, dimana pada sistim ini untuk mengurangi resiko tidak dapat terpenuhinya permintaan customer maka persediaan barang yang akan diproses tidak boleh kosong, jumlahnya tidak boleh kurang dari stok aman (safety stock) yang sudah dijadikan patokan.
 
Syarat sistim "Just in Case" bisa berjalan dengan baik:
  1. Sama seperti pada sistim JIT, pada sistim "Just in Case" ini informasi dan akurasi data memegang peranan sangat penting, bahkan lebih komplek. Selain jumlah barang persediaan yang ada, harus pula diperhatikan daya tahan barang (kadaluarsa barang), kondisi gudang.
  2. Data tentang kapasitas barang yang bisa ditampung gudang harus lengkap.
Keuntungan sistim JIC:
  1. Resiko tidak bisa terpenuhinya permintaan customer kecil.
  2. Efek nilai tukar mata uang ataupun efek perubahan harga dari suplier dampaknya tidak sebesar pada sistim "Just in Time".
Kelemahan sistim JIC:
  1. Lama penyimpanan secara langsung mempengaruhi kualitas barang.
  2. Resiko terjadinya barang rusak (reject) lebih besar dibanding JIT.
  3. Memerlukan sumber daya manusia dan area (gudang) yang lebih besar dalam mengelola inventory. 
Dari kedua sistim managemen inventory di atas mana yang terbaik? Jawabannya tidak ada yang terbaik, keduanya mempunyai kelemahan dan kerugian masing-masing. Dalam kenyataannya sangat jarang bahkan bisa dibilang tidak ada perusahaan/manufacturing yang menerapkan sistim JIT maupun JIC secara murni.

Yang saya lihat sampai saat ini adalah perusahaan/manufacturing menggunakan kedua sistim tersebut bersamaan, untuk barang dengan pangsa pasar/customer yang besar (fast moving good) digunakan JIC sementara untuk barang dengan permintaan yang kecil perusahaan menggunakan JIT. Dengan menerapkan kedua sistim tersebut perusahaan berharap semua permintaan customer dapat terpenuhi tetapi resiko rusaknya barang/inventory juga minim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar